- PENDAHULUAN
Azas dan tujuan telekomunikasi, pembinaaan, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sanksi administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Undang-Undang ini dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, karena diperlukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPRRI. UU ini dibuat karena ada beberapa alasan, salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi. Maka berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut, artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual.
- TEORI
- Asas dan Tujuan Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36:
Pasal 2 : Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3 : Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
- Penyelenggaraan komunikasi
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
- penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
- penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
- penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- melindungi kepentingan dan keamanan negara;
- mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
- dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
- peran serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
- Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
- Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
- badan usaha swasta; atau
- koperasi.
2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:
- perseorangan;
- instansi pemerintah;
- badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
- keperluan sendiri;
- keperluan pertahanan keamanan negara;
- keperluan penyiaran.
4) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan:
- perseorangan;
- instansi pemerintah;
- dinas khusus;
- badan hukum.
5) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan:
- tata cara yang sederhana;
- proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
- penyelesaian dalam waktu yang singkat.
3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
3) Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
1) Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
2) Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18
1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
2) Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
3) Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut:
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila iminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
- pemanfaatan sumber daya secara efisien;
- keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
- peningkatan mutu pelayanan; dan
- persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
T a r i f
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
Pasal 30
1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
3) Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
1) Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau
digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan
peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum
frekuensi radio dan orbit satelit.
4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
2) Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
- untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
- disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
- merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
- untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan; atau
- disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
- merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
1) Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
2) Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
- permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
- permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang- undang yang berlaku.
3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.
- Penyidikan Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36 :
P E N Y I D I K A N
Pasal 44
1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
- memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
- melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
- mengadakan penghentian penyidikan.
3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
- Sanksi Administrasi Dan Ketentuan Pidana
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
- STUDI KASUS
Hack Situs http://tnp.kpu.go.id pada Pemilu 2004
“Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 April 2004 dengan target situs http://tnp.kpu.go.id, pelaku yang bernama Dani Firmansyah merasakan adrenalinnya terangsang begitu cepat ketika mendengar pernyataan Ketua Kelompok Kerja Teknologi Informasi KPU Chusnul Mar’iyah bahwa sistem keamanan Situs KPU 99.99% aman dari serangan hacker. Maka pelaku pun memulai serangannya ke situs KPU tersebut selama kurang lebih 5 hari hingga ia pun berhasil men-deface tampilan situs KPU dengan mengganti nama-nama partai peserta pemilu. Alur tindak kejahatannya di mulai dari “warnet warna” yang berlokasi di Jogyakarta. Tersangka mencoba melakukan tes sistem security kpu.go.id melalui XSS (Cross Site Scripting) dan Sistem SQL injection dengan menggunakan IP Publik PT. Danareksa 202.158.10.***. Pada layer identifikasi nampak keluar message risk dengan level low (ini artinya web site KPU tidak dapat ditembus).
Pada 17 April 2004 jam 03.12.42 WIB, tersangka mencoba lagi untuk menyerang server KPU dan berhasil menembus IP (tnp.kpu.go,id) 203.130.***.*** serta berhasil update tabel nama partai pada pukul 11.24.16. sampai 11.34.27 WIB. Adapun teknik yang dipakai tersangka melalui teknik spoofing (penyesatan) yaitu tersangka melakukan hacking dari IP 202.158.10.*** kemudian membuka IP proxy Anonimous (tanpa nama) Thailand 208.***.1. lalu masuk ke IP (tnp.kpu.go.id) 203.130.***.*** dan berhasil merubah tampilan nama partai.”
“Setelah kejadian tersebut tim penyelididik Satuan Cyber Crime Krimsus Polda Metro Jaya yang di ketua oleh AKBP Pol Petrus R Golose mulai melakukan pengecekan atas log file server KPU. Tim penyelidik melakukan penyelidikan dengan cara membalik. “Bukan dari 208.***.1 (server di Thailand) untuk mengetahui apakah pelaku mengakses IP 208.***.1. atau tidak. Tidak sengaja tim perburuan bertemu dengan seseorang yang kenal dengan Dani di internet ketika sedang chatting. Kemudian tim penyidik menemukan salah satu IP address di log KPU, ada yang berasal dari PT. Danareksa. Lalu belakangan diketahui bahwa seseorang yang diajak chatting dengan polisi untuk mencari informasi tentang Dani tersebut adalah Fuad Nahdi yang memiliki asal daerah yang sama dengan Dani, dan merupakan admin di Warna Warnet. “Jadi nickname-nya mengarah ke Dani dan IP addres-nya mengarah ke tempat kerjanya Dani. Dari hasil investigasi, keluar surat perintah penangkapan atas Dani Firmansyah yang berhasil dibekuk di kantornya di Jakarta.”
- ANALISA STUDI KASUS
Meskipun telah melakukan pemeriksaan secarta komprehensif, ternyata motif dari pelaku pembobolan situs KPU belum juga secara gamblang terungkap. Ada beberapa orang yang menyatakan bahwa dibalik pembobolan situs tersebut ada motif politis dari pelaku ataupun pihak-pihak lain yang mungkin berada dibelakangnyaBerdasarkan hasil pemeriksaan sementara, motif perbuatan tersangka semata-mata dilakukan karena iseng belaka, selain itu, Dani juga tertantang untuk menjawab tantangan teman-temannya dalam komunitas milis yang diikutinya.
Tak adanya muatan-muatan politis di dalam aksi pembobolan situs KPU ini juga diperkuat oleh pernyataan dari pihak Kapolda Metro Jaya. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Makbul Padmanegara menegaskan bahwa memang tidak ada motif politik tertentu dibalik aksi Dani dalam merusak website KPU. Tersangka hanya tertantang untuk mencoba kemampuannya setelah mendengar pernyataan dari pejabat di KPU. Dia ingin mengingatkan bahwa secanggihnya sistem teknologi itu pasti masih bisa ditembus, kata Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Makbul Padmanegara di Mapolda.
Pernyataan Kapolda Metro Jaya juga diperkuat oleh pernyataan pelaku sendiri. Dani mengaku perbuatan merusak fasilitas Komisi Pemilihan Umum hanya sekadar iseng. Dia juga ingin membuktikan bahwa sebenarnya sistem informasi KPU tidak aman dan sangat mudah untuk ditembus.
Dari semua pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat saya ambil bahwa undang-undang no 36 tidak mempunyai keterbatasan jadi siapa saja boleh mengirimkan dan menerima segala bentuk informasi dan dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dunia telkomunikasi diatur pada pasal 22 dengan itu masyarakat dapat menikmati telekomunikasi dengan baik dan nyaman. Dengan dibuatnya UU no.36 ini yang mengatur tentang penggunaan telekomunikasi maka dapat membuat seluruh masyarakat mengerti tentang bagaimana cara penggunaan media telekomunikasi teknologi informasi dan agar tidak disalahgunakan kegunaannya oleh pihak-pihak tertentu.
- DAFTAR PUSTAKA
Hamda, Hanung Hisbullah. 20 April 2014. “ENERAPAN UU NO. 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DALAM KASUS CYBER CRIME DI INDONESIA (Studi Kasus Atas Pembobolan Situs www.kpu.go.id)”. http://hanunghisbullahhamda.blogspot.com/2011/04/penerapan-uu-no-36-tahun-1999-tentang.html.